Tugas SoftSkill ETIKA PROFESI 2
Cyberlaw di Negara-negara Dunia.
Nama: Bachtiar Adiguna
NPM: 21115215
1. Indonesia
Indonesia telah resmi mempunyai undang-undang untuk mengatur orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam dunia maya. Cyber Law-nya Indonesia yaitu undang–undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Di berlakukannya undang-undang ini, membuat oknum-oknum nakal ketakutan karena denda yang diberikan apabila melanggar tidak sedikit kira-kira 1 miliar rupiah karena melanggar pasal 27 ayat 1 tentang muatan yang melanggar kesusilaan. sebenarnya UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) tidak hanya membahas situs porno atau masalah asusila. Total ada 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Sebagian orang menolak adanya undang-undang ini, tapi tidak sedikit yang mendukung undang-undang ini.
Dibandingkan Dengan Negara - Negara Yang Lain, Indonesia Termasuk Negara Yang Tertinggal Dalam Hal Pengaturan Undang - Undang Ite. Secara Garis Besar UU ITE Mengatur Hal - Hal Sebagai Berikut :
- Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
- Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
- UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
- Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
Selanjutnya Adalah Perbuatan Yang Dilarang Di Dunia Maya (Cybercrime) Dijelaskan Pada Bab VII (Pasal 27-37) :
1. Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
2. Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
3. Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
4. Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
5. Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
6. Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
7. Pasal 33 (Virus, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS)
8. Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising?)
Sumber: http://verozzaranii.blogspot.com/2015/04/cyber-law-di-indonesia-dan-negara-lain.html
Sejarah :
Munculnya Cyber Law di Indonesia dimulai sebelum tahun 1999. Fokus utama pada saat itu adalah pada “payung hukum” yang generic dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana. Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
Cyberlaw digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada Cyberlaw ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
sumber : http://donyramdhan.blogspot.com/2014/04/sejarah-cyberlaw-di-indonesia.html
Kasus :
PEMENUHAN UNSUR-UNSUR PASAL 27 AYAT (3) JO PASAL 45AYAT (1) UNDANG-UNDANG 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK, PASAL 310 AYAT (2) DAN PASAL 311 AYAT (1) KUHP DALAM KASUS PRITA.
1. Pemenuhan Unsur Pasal 27 Ayat (3) Jo Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Ketentuan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan :
”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikandan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. (Tim Redaksi Pustaka Yustisia, 2009, hal. 30. atau baca : Gradien Mediatama, 2009, hal. 53).
Sedangkan ketentuan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan :
”Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pasal 27ayat (1), ayat (2), ayat (3) atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjarapaling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyakRp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”. (Tim Redaksi PustakaYustisia, 2009, hal. 30. atau baca : Gradien Mediatama, 2009, hal. 53).
Dalam ketentuan pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 Undang-UndangITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), tidak terdapat definisi secara jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan atau pencemaran nama baik. Karena untuk menentukan secara jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan atau pencemaran nama baik, harus merujuk pada ketentuan pasal 310 ayat (1) KUHP mengenai pencemaran lisan (smaad), pasal 310 ayat (2) mengenai pencemaran tertulis (smaadscrifft), dan pasal 310 ayat (3) sebagai penghapusan pidana (untuk kepentingan umum dan pembelaan terpaksa). Jika email Prita yang berjudul ”Rumah Sakit Omni International Telah Melakukan Penipuan” tersebut dianggap sebagai pencemaran nama baik (penghinaan) bagi dokter dan rumah sakit, sebagaimana ditentukan pasal 27 ayat 3 UU ITE, perlu diingat bahwa email Prita tersebut bersifat pribadi dan ditujukan hanya kepada teman-teman terdekatnya. Artinya, Prita tidak bermaksud menyebarluaskan tuduhan itu kepada umum.Dengan demikian, unsur penyebar-luasan sebagaimana disyaratkan pada pasal dimaksud tidak terpenuhi. Perbuatan Prita yang mengirimkan email tersebut mungkin tanpa motifsengaja mencemarkan nama baik, hanya bersifat keluhan pribadi, kecuali kalau teman-temannya sengaja mengirim kembali email tersebut kemudian menambah-nambahi, maka yang harus bertanggungjawab dalam permasalahanini seharusnya tidak hanya Prita tapi juga teman-temannya tersebut. Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini cukup sulit pembuktiannya, oleh karena orang yang melanggar harus dibuktikan memiliki motif sengaja mencemarkan nama baik. Jika hanya bersifat keluhan pribadi, tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Sama halnya, ketika kita mengirimkan sms kesesorang yang isinya bahwa si A telah melakukan penipuan. Terkecuali jika memang ada motif tertentu dalam mengirim email atau sms, maka harus dibuktikan motif tersebut, sedangkan membuktikan adanya motif tertentu sangatlah sulit dilakukan. Sehingga tidak segampang itu menerapkan pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut, oleh karena dunia maya sangat jauh berbeda dengandunia nyata, setiap orang bisa dengan sangat mudah mengaku dia Prita,Krisdayanti, Lunamaya dan sebagainya. Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa pihak OMNI InternationalHospital telah memberikan klarifikasi dna hak jawabnya pada milis yang sama dengan Prita, namun ia masih tetap memproses permasalahan ini melalui jalur hukum pidana dan perdata, dan anehnya gugatan perdatanyapun dikabulkan. Pasal 45 ayat (1) UU ITE memang menjerat pelaku pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan hukuman pejara diatas 5 (lima) tahun, namun jika permasalahan ini dikenakan pasal-pasal tersebu, maka betapa lemahnya posisi konsumen (pasien), dan ini jelas merupakan pemasungan warga negara untuk berpendapat. Jika hal ini dibenarkan, maka akan banyak korban seperti Prita, karena di era keterbukaan seperti ini, betapa banyak konsumen yang mengikuti rubrik surat pembaca di mass media maupun di blog untuk berkeluh kesah dan berdiskusi.
Sumber: https://arisin.weebly.com/blog/cyber-law
KESIMPULAN
Dari kasus prita bisa kita ambil kesimpulan lebih bijak dalam menggunakan sosial media, jika kita hendak mengutarakan keluhan terhadap suatu instansi ada baiknya agar tetap menjaga privasi dari instansi terserbut, tanpa harus menyebar ke media publik persoalan keluhan yang ingin di sampaikan. karena pihak instansi juga memiliki hak untuk menggunakan hak nya dengan menggugat atas pencemaran nama baik. memang kita juga punya hak untuk mengutarakan keluhan jika pelayanan yang diberikan oleh instansi tersebut tidak maksimal dan tidak sesuai dengan standar yang ada, tetapi harus secara pribadi tanpa harus menyebar ke media publik, karena sifatnya akan menggiring opini masyarakat luas.
2. India
Kejahatan Cyber tidak didefinisikan dalam Undang-Undang Teknologi Informasi 2000 atau dalam Kebijakan Keamanan Cyber Nasional 2013 atau dalam peraturan lain di India. Sebenarnya, itu tidak bisa juga. Kejahatan atau pelanggaran telah ditangani dengan daftar terperinci berbagai tindakan dan hukuman untuk masing-masing, berdasarkan KUHP India, 1860 dan beberapa undang-undang lain juga. Oleh karena itu, untuk mendefinisikan kejahatan cyber, dapat dikatakan, itu hanyalah kombinasi dari kejahatan dan komputer. Sederhananya dengan kata lain ‘pelanggaran atau kejahatan apa pun di mana komputer digunakan adalah kejahatan cyber’. Menariknya, bahkan pelanggaran kecil seperti mencuri atau mengambil kantung dapat dibawa dalam lingkup yang lebih luas dari cybercrime jika data dasar atau bantuan untuk pelanggaran semacam itu adalah komputer atau informasi yang disimpan di komputer yang digunakan (atau disalahgunakan) oleh penipu. The I.T. Act mendefinisikan penyalahgunaan komputer, jaringan komputer, data, informasi, dan semua bahan penting lainnya merupakan bagian dari cybercrime. Dalam kejahatan cyber, komputer atau data itu sendiri sasaran atau objek pelanggaran atau alat dalam melakukan pelanggaran lain, memberikan masukan yang diperlukan untuk pelanggaran itu. Semua tindakan kejahatan semacam itu akan berada di bawah definisi kejahatan cyber yang lebih luas.
Fokus pada bidang :
Perlindungan data / privasi pengguna internet dan keamanan pada sistem komputer atau perangkat komunikasi lainnya.
Kasus:
OFFICIAL WEBSITE OF MAHARASTRA GOVERNMENT HACKED
MUMBAI, 20 September 2007 — IT experts were trying yesterday to restore the official website of the government of Maharashtra, which was hacked in the early hours of Tuesday.
Rakesh Maria, joint commissioner of police, said that the state’s IT officials lodged a formal complaint with the Cyber Crime Branch police on Tuesday. He added that the hackers would be tracked down. Yesterday the website, http://www.maharashtragovernment.in, remained blocked.
Deputy Chief Minister and Home Minister R.R. Patil confirmed that the Maharashtra government website had been hacked. He added that the state government would seek the help of IT and the Cyber Crime Branch to investigate the hacking.
“We have taken a serious view of this hacking, and if need be the government would even go further and seek the help of private IT experts. Discussions are in progress between the officials of the IT Department and experts,” Patil added.
The state government website contains detailed information about government departments, circulars, reports, and several other topics. IT experts working on restoring the website told Arab News that they fear that the hackers may have destroyed all of the website’s contents.
According to sources, the hackers may be from Washington. IT experts said that the hackers had identified themselves as “Hackers Cool Al-Jazeera” and claimed they were based in Saudi Arabia. They added that this might be a red herring to throw investigators off their trail.
According to a senior official from the state government’s IT department, the official website has been affected by viruses on several occasions in the past, but was never hacked. The official added that the website had no firewall.
Sumber: http://www.cyberlawsindia.net/cases.html
3. Thailand
Cybercrime dan kontrak elektronik di Negara Thailand sudah ditetapkan oleh pemerintahnya,walaupun yang sudah ditetapkannya hanya 2 tetapi yang lainnya seperti privasi,spam,digital copyright dan ODR sudah dalalm tahap rancangan.
Fokus pada bidang :
Fokus di bidang hak cipta digital dan privasi dalam berkomunikasi.
Contoh salah satu kasus:
Menyebar foto raja kenakan masker, redaktur Thailand dikriminalitas
Seorang redaktur majalah terkemuka di Thailand menghadapi kemungkinan tuduhan kriminal karena dianggap menghina keluarga kerajaan. Redaktur itu dilaporkan ke polisi setelah menyebarkan gambar raja-raja Thailand mengenakan masker wajah untuk menyoroti polusi udara di Kota Chiang Mai. Foto itu buatan seorang siswa terkait rencana unjuk rasa antipolusi udara, yang kemudian dibatalkan gubernur. Gubernur Chiang Mai pada Minggu, 1 April 2018 mengatakan Pim Kemasingki, redaktur dari majalah Chiang Mai Citylife, telah melanggar Undang-Undang Kejahatan Komputer atau cyber crime dengan berbagi gambar melecehkan keluarga kerajaan.
Sumber : http://gardeniaarum.blogspot.com/2018/11/tugas-2.html
4. China
China sebagai kekuatan ekonomi Asia, telah mengubah segala lini perekonomian Indonesia, sehingga, menyebabkan tingkat kejahatan yang meningkat dan berdampak bagi kejahatan cyber di Indonesia. Hal ini bisa terlihat dengan berbagai kasus penipuan melalui dunia maya yang terjadi di beberapa kota di Indonesia yang dikendalikan China.
Berbicara tentang cyberlaw di China, maka sebenarnya ada dua organisasi yang paling penting bertanggung jawab atas keamanan internal dan eksternal adalah biro keamanan publik (PSB), bertanggung jawab atas keamanan negara (MSS).
Pasal 285, barang siapa melanggar peraturan negara dan merasa terganggun / adanya gangguan ke dalam sistem komputer dan informasi menganai urusan negara, pembangunan, fasilitas pertahanan, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dihukum tidak lebih dari tiga tahun hukuman pidana dan penahanan kriminal.
Sumber: https://www.forbes.com/sites/roncheng/2017/03/28/cybercrime-in-china-online-fraud/#79f112017ac3
Fokus pada bidang :
Keamanan, kenyamanan dan privasi.
Kasus:
A 2008 announcement by China’s Ministry of Industry and Information Technology (MIIT) estimated that 1.2 million Chinese computers were infectedby software that allowed attackers to control them as part of a botnet (a network of compromised computers that a hacker can control remotely without the owner’s knowledge). This made China home to approximately 60% of computers in the world thus infected. The huge amount of computers infected and participating in botnets explains, to large extent, the perception of China as the chief perpetrator of cyberattacks. While the botnets might have been controlled by cybercriminals from anywhere in the world, to the victims it would have appeared like the attacks were coming from China. A 2009 government report claimed 7.6 billion Yuan (US$1.2 billion) in economic losses.
sumber: https://www.linkedin.com/pulse/cybercrime-china-growing-threat-chinese-economy-marin-ivezic
5. Malaysia
Cyber Law di Malaysia, antara lain: – Digital Signature Act – Computer Crimes Act – Communications and Multimedia Act – Telemedicine Act – Copyright Amendment Act – Personal Data Protection Legislation (Proposed) – Internal security Act (ISA) – Films censorship Act The Computer Crime Act 1997 Sebagai negara pembanding terdekat secara sosiologis, Malaysia sejak tahun 1997 telah mengesahkan dan mengimplementasikan beberapa perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek dalam cyberlaw seperti UU Kejahatan Komputer, UU Tandatangan Digital, UU Komunikasi dan Multimedia, juga perlindungan hak cipta dalam internet melalui amandemen UU Hak Ciptanya.
Sementara, RUU Perlindungan Data Personal kini masih digodok di parlemen Malaysia. The Computer Crime Act itu sendiri mencakup mengenai kejahatan yang dilakukan melalui komputer, karena cybercrime yang dimaksud di negara Malaysia tidak hanya mencakup segala aspek kejahatan/pelanggaran yang berhubungan dengan internet. Akses secara tak terotorisasi pada material komputer, adalah termasuk cybercrime. Hal ini berarti, jika saya memiliki komputer dan anda adalah orang yang tidak berhak untuk mengakses komputer saya, karena saya memang tidak mengizinkan anda untuk mengaksesnya, tetapi anda mengakses tanpa seizin saya, maka hal tersebut termasuk cybercrime, walaupun pada kenyataannya komputer saya tidak terhubung dengan internet.
Lebih lanjut, akses yang termasuk pelanggaran tadi (cybercrime) mencakup segala usaha untuk membuat komputer melakukan/menjalankan program (kumpulan instruksi yang membuat komputer untuk melakukan satu atau sejumlah aksi sesuai dengan yang diharapkan pembuat instruksi-instruksi tersebut) atau data dari komputer lainnya (milik pelaku pelanggar) secara aman, tak terotorisasi, juga termasuk membuat komputer korban untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh pelaku pelanggar tadi. Hukuman atas pelanggaran The computer Crime Act : Denda sebesar lima puluh ribu ringgit (RM50,000) dan atau hukuman kurungan/penjara dengan lama waktu tidak melebihi lima tahun sesuai dengan hukum yang berlaku di negara tersebut (Malaysia).
Fokus pada bagian:
The Computer Crime Act mencakup, sbb:
•Mengakses material komputer tanpa ijin
•Menggunakan komputer untuk fungsi yang lain
•Memasuki program rahasia orang lain melalui komputernya
•Mengubah / menghapus program atau data orang lain •Menyalahgunakan program / data orang lain demi kepentingan pribadi
Make Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub
Sumber: http://blogkublogku.blogspot.com/2011/03/peraturan-dan-regulasi-perbedaan.html
Kasus:
2014 was another interesting year in cyberspace for Malaysia’s legal fraternity. Numerous sedition investigations and charges were made against statements made online and offline.
Notably, Twitter user @wonghoicheng was charged under Section 504 of the Penal Code and Section 233 of the Communications and Multimedia Act 1998 for “deliberately humiliating and provoking” Inspector-General of Police (IGP) Khalid Abu Bakar on Twitter by likening him to Nazi military commander Heinrich Himmler.
Our courts were also flooded with interesting cyberlaw cases dealing with various issues.
SlotsMate Casino App - Jackson County - JCM Hub
BalasHapusSlotsMate Casino Mobile App. 성남 출장마사지 How 영주 출장마사지 to Play 공주 출장안마 SlotsMate SlotsMate Mobile App. Download 파주 출장마사지 SlotsMate SlotsMate App APK 김해 출장안마 for iOS.